June 7, 2010

Budi Soehardi, CNN Heroes 2009


Menurut seorang Budi Soehardi, pendiri Panti Asuhan Roslin di Timor-Timur, “Para penghuni Panti kelihatan sangat ceria & bahagia, tapi sebenarnya memiliki hampir semua cerita sedih yang mungkin dialami manusia”.

“Beberapa dari bayi yang dibawa ke sini karena ibu mereka meninggal setelah melahirkannya akibat kekurangan gizi. Yang lain datang karena keadaan keluarga yang sangat miskin, beberapa yang lain datang karena keluarga yang tidak menginginkan mereka, sehingga menelantarkannya”.

Soehardi (53 tahun), seorang pilot Indonesia yang tinggal di Singapura beserta Peggy, istrinya mengurus 47 orang di panti asuhan tersebut. Mereka memiliki hubungan yang sangat dekat satu sama lain, bahkan menganggap ana-anak tersebut adalah keluarga mereka. Mereka menamai beberapa bayi yang datang ke panti asuhan itu, sejak mereka datang sebagai bayi, beberapa dari mereka adalah korban & pengungsi akibat konflik di Timor Timur.

Soehardi sendiri memiliki 3 orang anak kandung, namun menurutnya tidak ada perbedaan perlakuan terhadap 3 anak kandungnya dengan anak-anak di panti asuhan. Mereka semua mendapat tempat tinggal yang bersih, vaksinasi, makanan, pakaian dan vitamin.

“Pak Budi sudah seperti ayah saya” kata Gerson Mangi (20th) salah seorang penghuni panti. Mangi datang ke panti asuhan pada umur 12 tahun, dan tidak ada kemampuan untuk meneruskan sekolah setelah orangtuanya meninggal. Sekarang berkat Pendidikan di Roslin & seorang donatur, dia sudah bersekolah medis.

Soehardi yang ayahnya meninggal ketika berumur 9 tahun, mampu ikut merasakan penderitaan yang dialami Mangi.

“Untuk makan aja susah apalagi untuk biaya sekolah” kata suhardi. Mereka benar2 menyentuh perasaan saya dan saya ingin mereka menjalani kehidupan yang lebih baik.

Korban konflik kemerdekaan Timor Leste
Berita tentang situasi pada tahun 1999 di Timor Timur, menginspirasi Soehardi untuk melakukan sesuatu bagi mereka.

Soehardi & seluruh keluarganya sedang makan malam dan melihat berita televisi di rumahnya di Singapura, ketika dia menyaksikan banyaknya pengungsi yang keluar dari Timor-timur ke Nusa Tenggara Barat. Mereka tinggal di dalam kardus-kardus yang disulap menjadi tempat tinggal. Anak-anak mengenakan goni sebagai baju & tidak ada sanitasi.

“Itu sungguh menyentuh perasaan” kata Soehardi.

Keadaan yang menyedihkan ini terjadi setelah referendum Timor-timur untuk merdeka dan memisahkan diri dari Indonesia. Dalam referendum itu, Militia melakukan banyak kekerasan di wilayah itu. Ratusan orang meninggal dan sebanyak 250,000 orang harus meninggalkan rumah mereka sebagai pengungsi.

Keluarga Soehardi yang sebelumnya merencanakan liburan keliling dunia, namun karena melihat berita tersebut, mereka merubah rencana mereka.

Saya & istri saling pandang, dan kita masing-masing memikirkan hal itu. “Mari melakukan sesuatu yang lain. Kita mengunjungi tempat itu, untuk membuat liburan yang berbeda” kata Soehardi.

Malam harinya dia menulis E-Mail pada rekan-rekannya sampai jam 4 pagi, untuk mulai mengumpulkan sumbangan dana, makanan, pakaian & segala kebutuhan untuk para pengungsi. Dengan bantuan teman & beberapa relawan, keluarga Soehardi berhasil menembus area konflik & membawa lebih dari 40 ton makanan, alat2 kesehatan dan sanitasi ke kamp pengungsi di Timor-Timur.

Selanjutnya keluarga suhardi memutuskan untuk membuat panti asuhan bagi yatim piatu.

“Istri saya berinisiatif meminta saya untuk membuat 3 kamar. 2 jam kemudian dia meminta 5 kamar lalu 9 kamar dan akhirnya berdirilah panti asuhan ini”

Mereka menyelesaikan pembangunan panti asuhan dalam 11 bulan dan menamakannya Panti Asuhan Roslin.

Pada April 2002, panti asuhan dibuka dan menyediakan rumah bagi 4 anak. Sejak dari itu, panti asuhan diperbesar untuk kepentingan pendidikan gratis, pakaian, rumah dan makanan untuk 47 orang anak dari semua umur, mulai dari yang baru lahir sampai yang usia jenjang universitas. Setengah dari penghuni panti berusia kurang dari 8 tahun.

Panti asuhan di bangun di tanah hasil sumbangan yang mereka sangka tanah gersang.Tapi sekarang ini, nasi untuk para penghuni panti dihasilkan dari tanah mereka sendiri.

”Kami berani mengambil tantangan ini” kata soehardi mngenai proyek irigasinya. Dia dan Peggy, yang sama-sama tidak memiliki pengetahuan tentang pertanian, menggunakan 2 pompa dan generator untuk mendapatkan air dari irigasi.

Lalu mereka mulai menanam padi. ”200 hari kemudian, kami panen pertama dan menjadi pantu asuhan yang berhasil swasembada beras," katanya.

Ini adalah salah satu taktik untuk mengurangi biaya, terutama dengan kehilang pekerjaan yang dialami Soehardi karena kesulitan ekonomi.

Soehardi yang gaji pilotnya digunakan untuk menopang kelangsungan panti asuhan dan membiayai sekolah medis Mangi, berharap bahwa dengan berakhirnya kontraknya, tidak akan mempengaruhi kehidupan anak-anaknya.

“Bisa menolong anak2 ini adalah suatu kehormatan bagi saya dan istri karena ini adalah bentuk terima kasih kami atas apa yang sudah dianugerahkan pada kami”